Ketika aku membuka buku apa pun yang menyentuh filsafat, sejarah, sastra, seni, dan budaya, rasanya seperti menyalakan lampu di sudut kamar yang selama ini gelap. Ada rasa ingin tahu yang sangat manusiawi: bagaimana kita sampai di sini? Mengapa seni kita menimbang nilai-nilai tertentu, sementara budaya lain menaruh keunikan pada hal-hal kecil seperti makanan, musik, atau ritual harian? Aku belajar bahwa sejarah bukan sekadar deretan tanggal, tetapi bahasa yang dipakai komunitas-komunitas untuk mengucapkan identitas mereka. Sastra, terutama klasik dan modern, seperti menjadi jendela yang membawa kita melihat bagaimana masa lalu bernafas di dalam kota-kota dan ruang-ruang publik hari ini. Saat aku membaca, aku sering merasakan cerita-cerita itu seperti jejak kaki yang mengundangku mengikuti alurnya—kadang menapak mantap, kadang tersandung karena kenangan pribadi yang tiba-tiba dianggap penting juga. Dan ya, ada momen lucu ketika aku menyadari bahwa aku sering menilai era tertentu lewat bagaimana tokoh-tokohnya menyesuaikan etika dengan perubahan rambut, bahasa, atau layar televisi yang tiba-tiba menggantikan panggung utama. Dunia buku terasa seperti tempat berkumpulnya berbagai suasana: tenang seperti perpustakaan tua, ribut seperti pasar budaya, dan lembut seperti secangkir teh di sore hari yang hujan.
Apa arti sejarah bagi seni dan budaya yang kita cermati?
Sejarah mengajari seni untuk tidak berdiri sendiri sebagai benda mati. Ia memberi konteks pada garis-garis warna, pada ritme kata-kata, pada bagaimana sebuah teater bisa hidup berulang-ulang karena ingatan publik. Dalam sastra klasik, kita melihat bagaimana gagasan tentang kehormatan, nasib, dan kehancuran dibangun melalui mitos, epik, dan drama yang sering dipakai sebagai cermin moral pada zamannya. Di sisi lain, sastra modern menantang narasi tunggal itu dengan keragaman sudut pandang, fragmen-realitas, dan pertanyaan-pertanyaan tentang identitas yang lebih cair. Aku sering menemukan diri aku menilai karya lewat bagaimana ia menjawab pertanyaan tentang kekuasaan, bahasa, dan cara kita membentuk dunia melalui imajinasi. Ketika suasana kota berubah—pagi yang macet, senja yang berwarna oranye, atau bunyi kereta yang menembus kaca—aku meresapi bahwa seni adalah arsip perasaan manusia pada satu masa lalu yang berkelindan dengan hari ini.
Klasik vs Modern: bagaimana sastra membingkai waktu?
Sastra klasik seperti aliran sungai yang mengalir dari zaman ke zaman; ia membentuk bahasa kita tentang kemuliaan, tragedi, dan hukum kodrat. Epik-epik kuno, tragedi Shakespeare, atau novel-novela panjang dari era kolonial menenun gagasan tentang tujuan hidup dan tempat manusia di alam semesta. Waktu di sana terasa terstruktur, kadang tegas, kadang paradoksal: kita berjuang untuk kehormatan, lalu menyadari bahwa kekuatan bisa menipiskan garis antara benar dan salah. Pagi yang kita jalani dengan secangkir kopi terasa seperti bagian dari teater lama yang masih relevan ketika tokoh-tokohnya berperang dengan kenyataan yang tidak pernah sejalan sepenuhnya dengan ideal. Di sisi lain, sastra modern memperlihatkan sejarah sebagai medan yang terus retak dan direkonstruksi. Identitas, kolonialisme, migrasi, kehancuran sosial, dan krisis moral dihadirkan lewat bahasa yang lebih lincah, fragmentaris, dan terkadang ironis. Aku suka bagaimana karya modern mengajak kita menimbang kembali nilai-nilai lama tanpa menutup mata terhadap luka-luka baru yang muncul di kota-kota besar atau desa-desa yang berusaha bertahan di antara gelombang globalisasi.
Tokoh, narasi, dan etika budaya
Tokoh-tokoh sastra berfungsi seperti cermin yang menahan beban budaya di pundaknya. Mereka mengajari kita bagaimana etika bisa berubah seiring konteks sosial, bagaimana kebiasaan sehari-hari—mari kita sebut ritual kecil seperti menyantap sarapan, menyalakan kompor, atau menutup pintu rumah—mewakili tradisi dan perubahan. Ketika aku membaca, aku merasakan suasana rumah yang berbeda-beda: ada rumah yang berhias horn-ornamen klasik, ada juga rumah yang minimalis dengan perabotan modern. Semua itu menyiratkan bagaimana budaya menilai keseimbangan antara warisan dan inovasi. Dalam perjalanan membaca, aku sering menemui momen lucu—seperti ketika dialog yang tampak berat tiba-tiba dipatahkan oleh kata-kata ringan seorang pelaku cerita—dan itu membuatku tersenyum karena manusia tetap manusia: mencari kejelasan di antara absurditas hidup. Beberapa karya mengundang kita untuk menimbang bagaimana bahasa mempengaruhi identitas kelompok dan bagaimana kita, sebagai pembaca, ikut merakit makna budaya lewat saran-saran naratif yang halus namun kuat. Beberapa rekomendasi bacaan yang mengubah cara pandang bisa ditemukan di thehumanitiesbookstore.com, tempat aku suka menapaki berbagai sudut pandang yang sering tidak masuk akal namun jujur.
Refleksi pribadi: membaca sebagai praktik filsafat
Akhirnya, aku menyadari bahwa membaca bukan hanya hiburan atau studi akademik; ia adalah praktik filsafat yang bisa dilakukan kapan saja, di mana saja. Aku belajar untuk menunda jawaban, membiarkan pertanyaan-pertanyaan mengiringi langkah, dan membiarkan suasana hati ikut menentukan cara aku menilai suatu karya. Kadang aku menilai sejarah melalui aroma kopi yang tertinggal di cangkir, kadang melalui nyeri halus di dada saat menyadari betapa rapuhnya ingatan kolektif kita. Ada kalanya aku memilih buku yang berargumen dengan tenang tentang masa lalu, dan di saat lain aku memilih narasi yang berargumen dengan kekacauan emosi dan kejutan. Semua itu mengajarkan kita bahwa budaya adalah dialog berkelanjutan antara kita dan masa lalu. Seperti percakapan yang tidak pernah selesai, membaca membuatku merasa lebih manusia: lebih lambat, lebih peka, dan sedikit lebih pemberani untuk mempertanyakan apa yang kita sebut kebenaran hari ini.